Rabu, Oktober 29, 2025
No menu items!
BerandaUncategorizedAkademisi Nilai Pasal 21 UU Tipikor Kabur dan Berpotensi Timbulkan Kriminalisasi

Akademisi Nilai Pasal 21 UU Tipikor Kabur dan Berpotensi Timbulkan Kriminalisasi

Jakarta | Delikperkara – Sebanyak 18 akademisi hukum pidana dari berbagai universitas di Indonesia menyerahkan dokumen amicus curiae kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 163/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Hasto Kristiyanto.

Perkara tersebut menguji Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur tentang delik obstruction of justice. Para akademisi menilai pasal itu mengandung norma kabur, melanggar asas legalitas, serta berpotensi menimbulkan kriminalisasi berlebihan.

Dalam dokumen setebal puluhan halaman itu, para akademisi menyoroti frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung” dalam Pasal 21 yang dinilai tidak memiliki batasan hukum yang tegas. Ketidakjelasan tersebut dianggap bertentangan dengan asas lex certa dan lex stricta dalam hukum pidana.

“Tidak ada parameter pasti mengenai perbuatan apa yang tergolong ‘tidak langsung’. Akibatnya, aparat penegak hukum bisa menafsirkan secara bebas, bahkan terhadap tindakan yang sah seperti pengajuan praperadilan, nasihat advokat, atau sikap diam,” ujar Prof. Deni Setya Bagus Yuherawan dari Universitas Trunojoyo Madura dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (12/10/2025).

Dokumen amicus curiae tersebut telah diserahkan ke MK pada Kamis (9/10/2025). Para akademisi menegaskan bahwa tafsir bebas terhadap pasal tersebut melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi serta berpotensi menimbulkan praktik over-criminalization.

Selain itu, mereka juga menyoroti tidaknya unsur “melawan hukum” dalam pasal tersebut, yang dapat membuat tindakan legal seperti pembelaan di pengadilan justru dianggap sebagai upaya menghalangi penyidikan. Para akademisi juga mempertanyakan proporsionalitas ancaman pidananya.

“Pasal 21 bukanlah tindak pidana korupsi pokok, melainkan delik umum. Namun ancamannya justru paling berat, sehingga tidak proporsional,” tambah Prof. Deni.

Para ahli hukum yang terdiri dari profesor dan doktor—di antaranya Prof. Tongat (Universitas Muhammadiyah Malang), Prof. Mahmutarom HR (Universitas Wahid Hasyim), dan Prof. Rena Yulia (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)—meminta MK memberikan tafsir pembatasan terhadap pasal tersebut.

Mereka mengusulkan agar Pasal 21 hanya menjerat perbuatan yang dilakukan dengan niat jahat melalui kekerasan, intimidasi, atau pemberian keuntungan tidak semestinya, sebagaimana diatur dalam Article 25 Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC).

“Pemberantasan korupsi harus berjalan dalam koridor hukum yang pasti, adil, dan proporsional. Norma yang kabur justru melemahkan keadilan dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan,” tulis para pakar dalam dokumen tersebut.

Para akademisi juga mengingatkan bahwa bahasa hukum tidak pernah netral, dan kekaburan rumusan norma dapat membuka ruang penafsiran sepihak oleh aparat penegak hukum.

“Ketika aparat penegak hukum memiliki posisi dominan dalam menafsirkan norma pidana, peluang kriminalisasi akan terbuka lebar,” tulis mereka, mengutip teori Paul Scholten dan J.A. Pontier.

Pewarta : Red
Editor : All
Copyright © Delikperkara 2025
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments